Jombang | oposisi23 - Setidaknya dua kasus pemerkosaan di Jombang terjadi di awal tahun 2025 ini.
Kasus pertama menimpa seorang remaja 18 tahun dari desa Sebani, kecamatan Sumobito, kabupaten Jombang. Dalam kejadian ini, korban tak hanya diperkosa oleh 3 pelaku, tetapi juga dibuang ke sungai hingga meninggal dunia.
iklan Jasadnya ditemukan di sungai desa Pacarpeluk, kecamatan megaluh, Kabupaten Jombang.
Sedangkan kasus kedua, menimpa seorang siswi MA. Remaja malang itu diperkosa oleh 7 pria yang baru saja menggelar pesta minuman keras.
Kasus ini semakin menambah daftar hitam kekerasan terhadap perempuan berujung kematian yang ada di Kabupaten Jombang. Bahkan, Women Crisis Center (WCC) Kabupaten Jombang menyebut kasus ini merupakan Femisida.
Sebab itu, Aliansi peduli korban Femisida yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, kalangan muda, keluarga hingga tetangga korban menyuarakan aksi solidaritas agar para pelaku dihukum mati.
Aksi unjuk rasa yang melibatkan ratusan orang dengan menggunakan baju serba hitam ini dimulai sejak pukul 08.00 WIB dari Taman Informasi
iklan menuju Gedung DPRD Kabupaten Jombang.
Di depan gedung DPRD Jombang inilah para pengunjuk rasa menyampaikan sejumlah tuntutannya agar masyarakat dilibatkan dalam proses perlindungan dan pemulihan korban kekerasan.
Angka kriminalitas di Jombang di awal tahun 2025 ini sangat mengerikan. Jadi bisa kami sebut Jombang sudah lagi tidak aman," ucap Ana Abdillah, Koordinator Women Crisis Center (WCC) saat dikonfirmasi usai aksi unjuk rasa pada Selasa (25/5/2025).
Aksi yang digelar oleh masyarakat dan gabungan organisasi mahasiswa ini punya tujuan untuk mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus Femisida serta kasus lainnya.
"Kami ingin dari pemerintah daerah untuk bisa meningkatkan upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak dan bisa menciptakan ruang aman di seluruh wilayah Kabupaten Jombang," ujarnya.
Pihaknya ingin Kabupaten Jombang menjadi aman dengan adanya pencegahan kekerasan dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Terlebih, pada kasus pemerkosaan dan pembunuhan ini, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) cenderung tutup mata dan sangat minim mengucapkan rasa belasungkawa. Mengingat kasus ini sudah menjadi atensi banyak masyarakat.
Ana melanjutkan, dalam proses hukum yang berjalan, ia mengapresiasi kerja polisi yang gerak cepat mengungkap kasus ini. Namun, yang belum bisa dipastikan adalah pemulihan dampak kepada keluarga korban.
"Kami belum bisa memastikan bagaimana trauma healing yang dilakukan keluarga korban pasca kejadian tersebut. Psikologis orang tua yang ditinggalkan anaknya belum sepenuhnya pulih," katanya.
Padahal, dalam Undang-undang Kekerasan Tindak Pidana mengakomodir pemulihan dampak materi dan materiil. Bagi Ana, pendampingan korban juga wajib dilakukan.
"Terlebih 3 pelaku ini sama sekali tidak meminta maaf atas apa yang telah mereka perbuat," imbuhnya.
Pihaknya menuntut Pemerintah Kabupaten Jombang segera mengeluarkan regulasi tentang perlindungan perempuan dan anak.
Aksi ini juga menuntut agar Perda ini bisa segera disahkan. Tapi kami juga sempat mengkritisi Perda itu. Ternyata Perdanya itu masih belum memperkuat keterlibatan masyarakat. Sangat minim memberi ruang kepada masyarakat terlibat dalam program-program perlindungan, pemulihan," pungkasnya. (gok Cuy- Dwi Agus)